Diapit dua buah mura sungai yaitu sungai mentaya dan katingan, terletak diujung bawah pulau kalimantan. Entah berapa lebarnya? Mungkin hanya kurang lebih 300 meter. Ketika kulihat pada peta Kalimantan tengah nampak tempat kuberada sekarang hanya seperti ujung pensil. Penduduk yang mungkin hanya kurang dari 1.000 jiwa sudah mencangkup 2 desa dan 1 kecamatan. Masyarakat yang pada umumnya berprofesi nelayan, berkebun, pedagang dan sebagian lagi pengusaha burung walet.
Jika dilihat dari atas nampak takan kalah dengan kota-kota besar gedung-gedung bertingkat nampak menjulang yang dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah gedung walet dengan suara kikk… kikk… kikk… yang selalu mendampingi aktivitas masyarakat. Sekarang kita berbicara fasilitas umumnya apa saja yang ada. Tempat ibadah
berupa mesjid, gereja, mushola selain itu ada sebuah gedung bagus bertingkat
dua dengan atap berkubah dengan arsitektur timur tengah yang disebut dengan
kantor kecamatan. Beberapa sekolah dari beberapa jenjang Tk,RA, SD,MIN, SMP,
MTS, SMA, MA yang kurang dari sekolahan adalah Sekolah Menengah kejuruan (SMK)
dan pondok pesantren. Orang tua yang berharap anaknya mendapat pendidikan yang
lebih baik akan menyekolahkan anaknya dikota ataupun pondok pesantren dengan harapan
dapat menjadi alim ulama kedepannya. Sebuah Bank Kalteng cabang yang menjadi
satu-satunya bank dengan gedung yang cukup bagus dengan ornamen khas kalimantan
tengahnya nampak disebrangnya sebuah lapangan bola. Pasar yang menjadi poros
ekonomi masyarakat yang berada di pinggir sungai. Sebuah puskesmas yang menjadi
andalan masyarakat dalam berobat, sebagian orang menyebutnya dengan rumah sakit
entah mengapa mungkin harapan besar mereka suatu hari nanti puskesmas tersebut
akan memiliki fasilitas dan pelayanan lengkap seperti rumah sakit dikota-kota.
Ketika jam menunjukan pukul 07.00 WIB pagi maka pengaliran listrik akan berhenti sampai pukul 15.00 WIB. Diera milenial sekarang tempat kami masih belum dialiri listrik selama 24 jam. Kesulitan kami bukan hanya itu pada musim kemarau air sungai akan berubah menjadi air asin, sumur-sumur warga akan semakin dangkal pada saat itu air akan menjadi barang yang sangat berharga. Pada musim kemarau mandi 1 kali sehari atau dengan air seadanya adalah hal yang lumrah bagi masyarakat. Kota terdekat adalah kota sampit yang ketika perjalanan menempuh waktu 5 jam menggunakan transportasi air berupa kelotok kecil. Anak sungai yang menjadi wadah perjalananpun akan mengering para penumpang akan bertranslit dengan kelotok yang lebih kecil lagi yang orang sini sebut dengan cesan yang hanya dapat menampung kurang lebih 6 orang. Nah itulah sedikit lika-liku kehidupan ditempat kami tidak ada jalan tembus ke kota bagi masyarakat sini air adalah jalan, air adalah kehidupan tempat kami dikenal dengan pegatan silhkan kapan-kapan berkunjung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar